“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh”

6 Des 2011

Deradikalisasi, Usaha Memadamkan Cahaya Syari’ah Dan Jihad Di Indonesia

Usaha memadamkan cahaya Islam bermula sejak dakwah Islam disampaikan oleh Rasulullah Saw. Tidak pernah berhenti dan berlanjut sampai sekarang di Indonesia. Sejak dimunculkannya isu teroris dan terorisme, pemerintah RI demikian bersemangat untuk mematikan semangat penegakan syari’ah dengan da’wah dan jihad fie sabilillah. Melalui institusi POLRI dan team pelaksana anti teror  Densus 88 buatan bersama negara asing  dengan berutalnya menangkap para ulama Mujahidin dan para Mujahidin bahkan membantai dan membunuh mereka secara membabi buta tiada prikemanusiaan. Seorang mantan Staf ahli Kapolri, Anton Tabah, mengatakan bahwa biasanya yang membuat orang extrem dan radikal adalah ayat Al Qur’an, QS. al-Maidah, 5: 44 ,45, 47 yang berbunyi:

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 5: 44)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. 5: 45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. 5: 47)

“Dimana Kafir, dzalim, fasik adalah golongan ahli neraka. Jika seseorang terkunci pemahamannya pada ayat-ayat ini secara hitam putih maka dia akan menjadi ektrem radikal. Dari sinilah biasanya “ustadz perekrut” calon-calon anggota teroris memanfaatkan kedangkalan masyarakat terhadap agamanya.Inilah antara lain jawaban kenapa jaringan teroris di Indonesia mampu merekrut anggota-anggota baru.” (Anton Tabah, Koran KR 14/8 2009)

Ayat diatas, merupakan koreksi terhadap sikap para penguasa yang beragama Islam yang enggan mentaati tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang mengutamakan pendapat dan dorongan nafsunya daripada syari’at Allah SWT. Para mufassirin memahami ayat ini sebagai kewajiban penguasa menjalankan syari’at Islam. Mereka yang mengingkari dan menolaknya dinyatakan Kafir, bila penolakan tersebut dilandasi keyakinan bahwa syari’ah Islam tidak layak dan tidak ada kebaikan apa-apa untuk mengatur umat manusia. 

Label Dzalimdikenakan bagi manusia, orang perorang atau kumpulan orang atau penguasa yang menolak syari’ah Islam atas dasar keyakinan bahwa ada hukum selain syari’ah Islam yang lebih sesuai dan lebih baik untuk mengatur hidup manusia, lalu mereka memilih hukum jahiliah atau sekuler sebagai ganti syari’ah Islam. Demikian pula seseorang atau kelompok orang dilabelkan Fasik karena mendurhakai Allah dan Rasul Nya. Mereka mengetahui dan meyakini kebenaran hukum Allah (Syari’ah Islam) dan satu-satunya yang paling baik dan adil untuk mengatur manusia, tetapi menolak mengamalkannya karena  motivasi dunia dan kedunian. Seperti halnya pegawai negeri yang takut dicopot dari jabatannya atau dipindah tempat kerjanya jika dia cenderung dan terlibat dalam pergerakan penegakan syari’ah Islam.

Jadi ketiga ayat  tersebut diatas tidak ada kaitannya dengan tujuan maupun motivasi terorisme. Tidak ada seorang mufassirpun sejak zaman para sahabat sehingga mufassir zaman sekarang yang menafsirkan ayat tersebut seperti Anton Tabah. Terorisme, siapapun pelaku dan apapun motivasinya, ayat tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi.Apakah tindakan Densus 88 yang menganiaya, menembak dan membunuh tersangka teroris tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara hukum merupakan justifikasi Pancasila dan UUD 45?
Oleh karena itu mengaitkan ayat diatas dengan terorisme jelas fitnah, sekaligus penistaan terhadap agam Islam. Begitupun menganggap para Mujahid yang berjuang menegakkan Syari’at Islam sebagai teroris atau sebaliknya memosisikan teroris sebagai mujahid, jelas provokasi negatif dan jahat. Kita khawatir anggapan demikian dapat mengundang konflik baru yang konsekwensi politisnya sulit dipredeksi.


Presiden SBY dalam pidato kenegaraan menyambut 64 tahun kemerdekaan RI, 16 Agustus 2009 menyatakan bahwa sumber terorisme adalah  keterbelakangan, ketidak adilan dan kemiskinan. SBY sama sekali tidak menyinggung keterlibatan kelompok atau ajaran agama tertentu sebagai pemicu terorisme di Indonesia.

Namun berbeda dengan SBY, adalah komentar aparat intelejen, termasuk komentar tokoh-tokoh Islam ambivalen. Munculnya para jawara intelejen akhir-akhir ini seperti Amsyad Mbai, Hendropriyono, Suryadarma, termasuk Antan Tabah yang menuding pemahaman keagamaan sebagai idelogi terorisme, bukannya membantu menyelesaikan masalah terorisme. Sebaliknya patut dicurigai mereka sedang menjalankan agenda global sebagai  kaki tangan imprialisme dan zionisme asing. Bukan mustahil, dengan menggunakan momentum pemberantasan terorisme, mereka berupaya menutupi ‘aib masa lalunya yang kejam dan sadis terhadap gerakan Islam dengan cara menyisipkan dan menanamkan fitnah. Akibatnya apa yang selama ini dianggap bahaya jalan sesat para teroris, karena menggunakan ajaran agama sebagai justifikasi tindakanya, justeru para aparat ksamanan melakukan kesesatan yang sama.

Dengan meneliti ucapan Anton Tabah diatas, yang memberi makna seakan-akan penyebab radikalisme adalah Al Qur’an, dan ajaran Al Qur’an yang paling berpotensi menyebabkan radikalisme dan terorisme selaras dengan pandangan itu adalah  ajaran syari’ah dan jihad. Dengan pandangan itu berarti ajaran syari’ah dan jihad harus dimatikan atau dijauhkan dari kehidupan ummat Islam. Jika ini yang terjadi maka pemerintah RI berarti berkehendak memadamkan kebenaran sebagaimana keadaan orang kafir dan Musyrik dizaman Rasululullah saw.

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. At Taubah, 9: 32 dan QS. Shaff 61:8)

Nasehat Kepada Pemerintah
Usaha deradikalisasi yang tujuannya untuk menghalangi syari’ah dan jihad di Indonesia bukanlah satu penyelesaian yang ilmiyah dan bijak, justeru akan menimbulkan anti pati dan kebncian terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Mengapa tidak, masalah besar yang seharusnya dijadikan pusat perhatian seperti masalah korupsi para pejabat pemerintah, masalah pemurtadan, masalah bank century dan sejenisnya dan lain-lain lagi malah tidak diselesaikan secara tuntas. Dan kita berkeyakinan usaha ini akan mengalami kegagaln dan tidak akan mencapai terget selama-lamanya. Karena Allah telah menjamin agamanya terus bercahaya dan  tidak akan dapat dihalangi sinarnya keseluruh penjuru. Maka langkah yang sepatutnya diambil dan ditempuh pemerintah adalah
  1. Membubarkan densus anti teror yang telah membuat masarakat ummat Islam resah dan ketakutan mengamalkan syari’ah agamanya karena teror dari densus anti teror..
  2. Menangkap personil teroris densus yang telah menangkap, menembak dan membunuh secara brutal umat Islam yang dicurigai terkait teroris dan mengadili mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku terhadap teroris yang sebenarnya.
  3. Memfasilitasi seluruh institusi dan organisasi yang berkompeten menyelesaikan masalah teroris dan terorisme dari kalangan ulama’, mujahidin penegak syari’ah, para akademisi, dan pemerintah agar duduk bersama menbicarakan dan menyelesaikan msalah secara tuntas.
  4. Dan supaya pemerintah berusaha dengan serius memberlakukan Syari’ah Islam di Indonesia dalam konstitusi negara.
Insya Allah segala kejadian yang berlaku seperti sekarang ini akan berhenti, segala bentuk korupsi, pembunuhan, perampokan, bala bencana dan musibah dan lain-lain akan diganti Allah dengan rahmat dan barakah dari pada Nya. Allah berfirman:

“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf, 7: 96)
Sehingga dengan demikian menjadilah negara Indonesia ini Negara yang disebut: Baldatun Toyyibatun Warabbun Gafur, Negara yang Baik yang Mendapat Keampunan Allah, Negara yang Gemah Ripah loh jinawi.

Inilah harapan seluruh rakyat Indonesia kepada pemerintah, khususnya umat Islam. Agar pemerintah bertindak adil kepada mayoritas  umat Islam Indonesia, bukan sebaliknya memberi kelapangan dan kebebasan sebebas-bebasnya kepada minorias selain umat Islam. Tetapi berlaku sebaliknya kepada umat Islam, maka siaplah menerima balasan Allah subhanahu wata’ala dengan firman Nya:
“Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf, 7: 96)

Mewaspadai Aksi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Pada hari Selasa, 30 November, Di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, ratusan tokoh agama dan tokoh masyarakat se-Jabodetabek dari berbagai organisasi kemasyarakatan, dikumpulkan untuk memenuhi undangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna membahas “proyek deradikalisasi” di Indonesia.

Bekerjasama dengan Kementerian Agama RI dan Lazuardi Biru, BNPT berupaya untuk terus merangkul tokoh-tokoh agama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan (pesantren, madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi), serta media massa, dengan menyelenggarakan diskusi dan workshop deradikalisasi bertajuk “Peran Masyarakat dalam Penguatan Nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”.

Organisasi Sosial dan Keagamaan yang hadir, antara lain: MUI Pusat, MUI se-Jadebotabek, PBNU, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Muhammadiyah se-Jadebotabek, HMI, Lazuardi Biru, Wahid Institute, Ma’arif Institute, ICIP, ICMI, The Fatwa Center, Habibie Center, Pusat Studi Qur’an (PSQ), Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), Pusat Pengkajian dan Masyarakat (PPIM), Imam Masjid se-Jadebotabek, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Lembaga Dakwah dan Taklim se-Jadebotabek.

Adapun dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Sestama Badan Intelijen Negara, Sekjen Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Sekjen Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertahanan, Sekjen Wantanas, Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Agama.

Dari kalangan akademis, BNPT juga mengundang beberapa perguruan tinggi, diantaranya: Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Alauddin Makassar, Universitas Triksakti, Universitas Pancasila, Universitas Nasional, Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an, Pondok Pesantren, dan Lembaga Pendidikan Islam lainnya.

Untuk membahas “proyek deradikalisasi”, BNPT menghadirkan sejumlah narasumber, seperti KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), Amirsyah Tambunan (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat), Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI), dan Dhyah Madya Ruth (aktivis Lazuardi Biru). Workshop dibuka secara resmi oleh Irjen Pol. (Purn) Ansyaad Mbai (Kepala BNPT), yang juga bertindak sebagai keynote speaker.

Ketua Panitia Pelaksana acara Drs Pranowo Dahlan saat ditemui menjelaskan, untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme, diperlukan suatu penanganan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat guna membendung berbagai aksi radikalisme dan terorisme. “Diharapkan ormas maupun organisasi keagamaan dapat memberikan ide-ide baru dalam implementasi program deradikalisasi, mengingat masih banyaknya peluang-peluang gerakan radikalisme maupun terorisme yang dapat muncul di Indonesia.

Dalam sambutannya, Kepala BNPT Ansyaad Mbai menegaskan, perlunya suatu langkah nyata dalam membendung aksi radikalisme di Indonesia. “Diperlukan penanganan yang tepat dengan melihat gejala-gejala di masyarakat yang dapat menumbuhkan benih radikalisme ini,” katanya.

Masing-masing narasumber diberi tugas BNPT untuk membahas deradikalisasi sesuai kompetensi dan disiplin ilmunya. Dirjen Bimas Kementerian Agama RI Nasarudin Umar, misalnya, memfokuskan penanganan dan beberapa kebijakan pemerintah dalam menangani berbagai aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia,

Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat memaparkan pentingnya peranan dunia pendidikan dalam membendung bibit-bibit baru radikalisme maupun terorisme, mengingat para pelaku terorisme mulai memfokuskan perekrutan anggota baru di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren maupun universitas.

Tokoh NU KH. Hasyim Muzadi menegaskan, peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam membantu pemerintah guna membendung aksi-aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia dengan cara menguatkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Sekretaris Pusat MUI Amirsyah Tambunan juga menjelaskan pentingnya lembaga MUI dalam mendampingi organisasi atau lembaga Islam yang mulai menjamur di Indonesia dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. MUI punya peran penting dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan masyarakat Muslim khususnya yang dapat mencegah munculnya bibit radikalisme.

Dhyah Madya Ruth dari Lazuardi Biru menyampaikan pentingnya program dakwah yang komprehensif dan menyentuh langsung ke masyarakat. “Pendampingan bagi para takmir masjid dan pendakwah dapat dijadikan sebagai alternatif program. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah penerbitan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema yang dapat menguatkan nilai-nilai karakter bangsa dan pemahaman akan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.”

Ba’da Zuhur, peserta diskusi dan workshop melanjutkan pembahasan secara lebih detil dengan membagi beberapa komisi. Diskusi dari berbagai tokoh agama dan masyarakat tersebut, dimaksudkan untuk menampung aspirasi dan ide pemikiran yang datang dari masyarakat luas, untuk kemudian diteruskan dalam bentuk usulan atau rekomendasi kepada pemerintah. Seterusnya, hasil pembahasan akan disosialisasikan melaui program-program yang menyentuh masyarakat umum secara langsung untuk lebih mamahami deradikalisasi yang telah dirumuskan oleh tokoh agama, masyarakat, dan kalangan akademis.

Ulama Harus Kritis
Yang menarik, salah seorang peserta  workshop yang tak mau disebut namanya mengingatkan, para ulama yang diundang BNPT hendaknya bersikap kritis terhadap program deradikalisasi yang hendak dirumuskan. Jangan sampai, program deradikalisasi justru menggiring ulama untuk menjadi corong dan jurubicara Densus 88.

Jika ada penanganan kasus teroris yang dirasa amat berlebihan dan penuh kejanggalan, ulama dan tokoh masyarakat juga harus peka, sekaligus mendakwahi pemerintah dalam menangani teroris. Jika tidak terbukti terlibat terorisme, ulama tentu harus melakukan pembelaan terhadap pihak yang tertuduh. Ulama sejogianya tidak dibrand-washing untuk menelan mentah-mentah proyek deradikalisasi. Jangan pula tergiur dengan proyek deradikalisasi yang pada akhirnya dapat merugikan umat Islam sendiri.

Ulama tetap harus mengatakan yang haq itu haq, dan yang batil itu batil. Jangan karena pesanan tertentu, ulama menjadi tidak kritis. Sehingga menyampaikan informasi yang salah, dan belum terbukti kebenarannya. Ulama bisa menjadi jembatan terhadap pihak yang memiliki pola pikir yang salah. Ulama tidak boleh didikte dengan kekuatan politik tertentu atas nama deradikalisasi. “Penanganan terorisme tidak boleh pake perasaan,” tandasnya.
Hasil rekomendasi dari workshop tersebut salahsatunya adalah menerbitkan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema deradikalisasi dan penanggulangan teroris. Sepertinya, ulama dan ormas Islam “pesanan” mulai dan telah tergiur dengan proyek deradikalisasi. Boleh jadi, mereka menganggap, proyek ini sangat prospektif dan menjanjikan. Mubazir jika ditolak! Sangat memprihatinkan, jika ulama malah terwarnai, bukan mewarnai.

Berkumpulnya para ulama yang mendukung proyek deradikalisasi, merupakan legitimasi bagi BNPT, untuk bertindak lebih jauh tanpa menimbang asas praduga tak bersalah. Kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir umpamanya. Entah kenapa tak ada satupun ulama yang bersikap kritis dan membela Ustadz Abu yang jelas-jelas terzalimi. Inilah potret ulama “pesanan” yang cuma mencari aman saja, dan ingin kecipratan “proyek” basah itu.

0 comments: